RENUNGAN HIDUP
Laa Yu’minuu ahadukum hatta yakuunu
hawaahu tab’an lima ji’tu bihi”.
(“Tidak beriman seorang diantara kamu sebelum hawa nafsunya
tunduk kepada apa yang aku bawa dengannya (Al-Qur’an) & (As-sunnah”).
(Alhadits)
I. PENGERTIAN HIDUP :
1. Hidup adalah tahapan perjalanan/
terminal 2/28
2. Hidup adalah Ujian 21/35
3. Hidup adalah pertanggungan jawab
75/36
II. HIDUP ANDA DIBENTUK OLEH PIKIRAN
ANDA 9/98-99
III. MAKSUD DAN TUJUAN HIDUP.
Setiap orang, sekali waktu dalam
kehidupan ini, pasti pernah mempertanyakan dalam dirinya tentang dari mana ia
berasal, akan kemana, dan apa tujuan sebenarnya dari kehidupan ini. Oleh sebab
itu satu-satunya cara adalah mengubah pola pikir manusia itu sendiri dengan
memberikan penjelasan tentang pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta,
manusia dan kehidupan (di dunia dan akhirat). Penjelasan ini hanya di dapat
didalam Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.
Pada saat Allah menciptakan manusia,
Ia tidak pernah meminta pendapat kita, apa perlu penciptaan itu atau tidak.
Artinya Allah Maha Berkehendak. Dia telah memiliki tujuan yang mutlak berkenaan
dengan penciptaan manusia.
Jadi, sekiranya kita yang dilahirkan
ke bumi ini mencari dan menciptakan tujuan hidup sendiri, berarti kita telah mengkhianati
Allah yang menciptakan kita. Tujuan hidup yang harus dicapai manusia adalah
tujuan yang telah ditetapkan Allah. Ada nggak manusia yang usul agar dirinya
diciptakan Allah karena ia mempunyai cita-cita yang hendak dicapainya di dunia
ini ? tidak ada. Dua pokok masalah yang penting yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan
‘Tujuan”?
2. Apakah “Kehidupan”?
TUJUAN adalah sesuatu yang ingin
dicapai manusia sesuai dengan fitrah dan keinginan-keinginan manusia.
Sedangkan KEHIDUPAN menurut
pandangan Al-Qur’an :
“Dan berilah perumpamaan kepada
mereka (manusia) kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan
dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi,
kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan
adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Qs.18/45 dan 10/24).
Dari ayat-ayat tersebut diatas
seolah-olah Sang Pencipta mengatakan :
“HIDUP ADALAH FENOMENA KEILAHIAN”.
Kehidupan dengan aspek alamiahnya tidak bisa membawa umat manusia kepada tujuan
ideal hidup di dunia ini. Mengapa demikian? Sebabnya adalah Bahwa kehidupan ini
adalah sebagai sarana untuk memasuki tahap kehidupan yang abadi.
“….supaya dia (Muhammad) memberi
peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah
ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir”. (Qs.36/70). Mereka yang siap untuk menerima pesan para Nabi dan siap
pula untuk menggunakan akal dan hati nurani, mereka inilah yang akan hidup
bahagia di dunia yang diciptakan Allah ini. Firman Allah :
“Maka hadapkanlah wajah (tujuan
hidup)mu dengan hanif kepada Ad-Dien (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu …” (Qs.30/30).
“Dan siapakah yang lebih baik Diennya daripada orang-orang
yang ikhlas menyerahkan (tujuan hidup)nya kepada (tujuan) Allah sedang ia
mengerjakan kebaikan …. “ (Qs.4/125)
Tujuan hidup manusia adalah memeluk
Dien yang hanif dan menyerahkan seluruh tujuan hidupnya kepada tujuan Allah
menciptakan manusia. Seluruh hidup manusia harus menyerahkan seluruh
kehendaknya kepada kehendak Allah. Itulah yang disebut kehidupan mencari ridho
Allah, sesuai dengan kehendak dan tujuan Allah menciptakan manusia.
“Maka apakah mereka mencari Dien
yang lain dari Dien Allah, padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa
yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada
Allah-lah mereka dikembalikan”. (Qs.3/83)
Bagi orang yang beriman tidak punya
cita-cita lain dalam kehidupan di dunia kecuali hanya satu yaitu “Ridho Allah”.
Kenikmatan hidup yang paling hakiki terletak pada keridhoan Allah dan itu
adalah kebahagiaan sejati. Sabda Nabi s.a.w:
“Barangsiapa yang mencari keridhoan
Allah dengan kemurkaan manusia, pasti Allah mencukupi kepadanya daripada
keperluan kepada manusia dan barangsiapa mencari keridhoan manusia dengan
kemurkaan Allah pasti Allah serahkan dia kepada manusia”. (HR.Tirmidzi).
Firman Allah SWT :
“Dan diantara manusia ada yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah, dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hamba-Nya”. (Qs.2/207).
Kepuasan hidup bukan terletak pada
bentuk dan wujud materi, tetapi kebahagiaan jiwa karena mendapat ridho Allah.
Sabda Rasululloh s.a.w. :
“Kaya itu bukanlah karena banyaknya
harta, tetapi (hakekat) kaya itu adalah kaya (kepuasan) jiwa hati”.
(HR.Bukhari-Muslim)
IV. BANGUNAN, SIFAT DAN CARA HIDUP
MANUSIA :
Di dalam riwayat perjalanan manusia
kita mengenal hidup manusia bermacam-macam. Menurut bangunan, sifat dan cara
yang terdapat di dalamnya, maka hidup manusia dibagi menjadi 3 bagian :
1. HIDUP HISSI
Adalah hidup hanya untuk keperluan
dirinya sendiri. Yang dikejar-kejar ialah hanya kepentingan yang berkenaan
dengan dirinya, dengan rumah tangganya. Kadang-kadang ia bergerak juga di medan
umum tetapi bergeraknya itu hanyalah untuk keperluan diri, keperluan materi
belaka. Orang yang demikian itu sesungguhnya memiliki sifat “Diam”. Bukan
“Diam” karena ia tak kuasa berjalan, bukan pula “Diam” karena ia tak pandai
bergerak. Tetapi ia disebut “Diam” karena tak pandai menjalankan hukum-hukum
Allah. Hidup yang demikian itu boleh diibaratkan hidup secara tumbuh-tumbuhan
dan binatang, hidup dengan tidak sadar dan insaf akan arti dan harga hidupnya.
Maka hidup inilah yang dinamakan “Hidup Hissy”, hidup hanya karena tak mati belaka.
2. HIDUP MA’NAWI
Hidup untuk menjalankan hukum-hukum
Allah tetapi belum mempunyai kesadaran yang cukup, belum memiliki keyakinan
yang kuat dan teguh, dan belum mempunyai kepercayaan yang utuh. Ia mudah
berubah,mudah digoyangkan dan dijatuhkan, mudah pula ia pindah haluan dan
sikap, hanya karena ada sangkutan dengan salah satu kepentingan keduniaan
belaka. Ia belum mempunyai pendirian yang kuat dan teguh.
3. HIDUP MA’ANNI
Hidup yang dipergunakan untuk
melakukan amal kebaikan dan kebajikan yang sebanyak-banyaknya dan
sesempurna-sempurnanya; amal yang timbul dari keyakinan yang kuat dan iman yang
teguh. Amal yang dilakukannya hanya karena mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah
SWT belaka. Dan tidak karena ataupun harapan yang diluarnya. Hidup sadar dan
hidup insaf ini tak mudah tercapai kecuali dengan kemurahan dan karunia Allah
semata-mata. Lebih-lebih sukar lagi mencapai hidup yang demikian itu, karena si
amil itu harus pandai menyatukan ketiga pendirian amal. (Isti’anah, istiqomah,
istitho’ah). Orang yang duduk dalam kehidupan ma’anni itu, tak lagi mengenal
sukar dan sulit, berat dan susah, takut dan was-was dan lain-lain yang boleh
mencegah manusia bisa melakukan amal yang sempurna.
V. KENALI HIDUP ANDA
1.
VISI HIDUP : 30/30, 4/125, 7/181
2.
MISI HIDUP : 2/30
3.
CITA-CITA HIDUP : 2/207
4.
PEDOMAN HIDUP : 45/20
5.
IDEOLOGI/FALSAFAH HIDUP : 2/208
6.
TUGAS HIDUP : 51/56
7.
TAULADAN HIDUP : 33/21
Muhammad Rasulullah, sebagai :
a. Manusia biasa yang digelari
Al-Amin
b. Pedagang yang menjalankan bisnis
c. Suami teladan
d. Bapak/orangtua teladan
e. Panglima perang
f. Kepala Negara
g. dll
8.
PIMPINAN/LOYALITAS HIDUP : 5/55, 4/59
Allah / Al-Qur’an
Rasul / As-Sunnah
Ulil Amri / Nizhom
9.
TEMAN HIDUP : 25/27-28 , 6/71-72 ,9/16
-Orang yang mau mendengar kita
disaat tak ada lagi orang yang mau mendengar kita
- Orang yang mau menopang tubuh kita
di saat kita lemah tak berdaya apa-apa.
- Orang yang mau membantu kita di
saat orang lain menjauhi kita.
( Teman sedapur, sekasur, sesumur)
10. AMALAN HIDUP :
- ISTI’ANAH 1/5, 2/153
- ISTIQOMAH 34/46, 2/238, 42/13,
41/6,30
- ISTITHO’AH 8/60, 64/16
11. MOTTO / SEMBOYAN HIDUP 9/111
ARAH PIKIRAN KITA ADALAH FAKTOR
UTAMA YANG MENENTUKAN PERJALANAN HIDUP KITA !!!
Minimal Mati Dalam Keadaan Muslim
"Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
berserah diri (muslim)." QS. Ali Imran (3) : 102
Saya sangat takut dengan ayat ini, karena ayat ini dikhususkan kepada
orang-orang beriman. Allah menyuruh kepada mereka yang telah beriman agar
bertakwa dengan sebenar-benar takwa. Berarti mengisyaratkan mereka yang beriman
masih ada yang tidak bertakwa dengan definisi takwa yang diinginkan oleh Allah.
"dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri
(muslim)"
Kalimat ini mengandung dua rukun yaitu nafi (penolakan) dan itsbat (penetapan),
sama seperti kalimat la ilaha illallah. Ini menunjukkan bahwa Allah menolak
segala bentuk kematian kecuali kematian dalam keadaan muslim yang artinya
berserah diri. Berserah diri kepada dinulloh. Dan ini juga mengisyaratkan bahwa
orang yang selamat di akhirat adalah yang mati minimal dalam keadaan muslim.
Asbabun nuzul ayat ini adalah peristiwa pertengkaran antara dua suku di Madinah
yang dikompori oleh orang-orang yahudi, yang mana kedua suku tersebut saling
berperang ketika pada masa jahiliyyah atau pra Madinah.
"Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan
pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga
termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah." (HR. Abu Daud)
Wailah bin al-Asqa' pernah bertanya kepada Rasulullah: "Apakah yang
disebut ashabiyah itu?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu membela
golonganmu pada kezaliman." (HR. Abu Daud)
Definisi Zalim menurut Al-Quran diantaranya adalah:
"... Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim. (Yaitu)
orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan
agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan
akhirat." (QS. 7: 44-45)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. 5: 45)
Mungkin sudah sering kita membaca mengenai kisah-kisah yang dapat kita ambil
pelajarannya, seperti seorang ahli ibadah yang mati dalam keadaan berzinah,
seorang pelacur yang mati bertaubat, seorang sahabat Rasulullah yang baru masuk
islam kemudian syahid, dan sebagainya.
Usai shalat Ashar Rasulullah Shallahu'alaihi wa salam menyampaikan khotbahnya,
“Amma ba’du. Sesungguhnya dunia itu indah dan manis. Allah menjadikan kalian
khalifah di sana untuk melihat apa yang kalian perbuat. Waspadalah terhadap dunia
dan waspadalah terhadap wanita, karena fitnah pertama Bani 15RA3L berawal dari
wanita. Ketahuilah, Bani Adam diciptakan dengan bertingkat-tingkat. Ada yang
dilahirkan sebagai mukmin,hidup sebagai mukmin, dan mati sebagai mukmin. Ada
pula yang lahir sebagai kafir, dan hidup sebagai kafir, dan mati sebagai kafir.
Ada yang dilahirkan sebagai mukmin, dan hidup sebagai mukmin, dan mati sebagai
kafir. Tapi, ada orang yang dilahirkan kafir, dan hidup sebagai kafir, dan mati
sebagai mukmin.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim).
Inilah makna mati dalam keadaan muslim, ialah mati bukan dalam keadaan maksiat,
munafik, musyrik, murtad, atau kafir, melainkan mati dalam keadaan berserah
diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu;
Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. 4:69)
"Tuhan" itu tidak ada, "Agama" itu tidak ada, dan janganlah kalian "Sembahyang"
·
Hari jum'at
kemarin saya sempat membuat status yang menjelaskan bahwa ada Salah seorang
teman muslim saya mengatakan bahwa : "Tuhan" itu tidak ada, "Agama" itu
tidak ada, dan janganlah kalian "Sembahyang".........!!! Al-hasil status tersebut mendapat respons yang
beragam dari sahabat-sahabat yang ada di forum ini, bahkan masih ada yang salah
persepsi setelah saya menjelaskan apa maksud dari status tersebut (mungkin
tidak membaca penjelasannya). Untuk itu saya tulis kembali apa maksud dari
status tersebut, agar tidak ada lagi kesalah pahaman.
Teman saya tersebut bukanlah orang sesat, bukan orang kafir, bukan atheis, dan
lain sebagainya. Beliau memaparkan demikian bukan karena tidak berdasar, tetapi
memang mempunya alasan yang kuat. Secara garis besar mungkin ini telah terjawab
oleh saudara kita Anne, Asep, wa'tiah, dll.......!!!
Jujur sebenarnya saya juga sempat berburuk sangka kepada apa yang telah beliau
paparkan, tetapi setelah beliau menjelaskannya, baru saya mengerti.
Memang terkadang kita sering menilai sesuatu hanya dari segi tekstualnya saja
tanpa mempertimbangkan maksud yang terkandung di dalamnya. Semoga ini bisa
menjadi pelajaran untuk kita semua, dan untuk saya pada khususnya....
1.
"Tuhan" itu tidak ada
Kata Tuhan itu sebenarnya berasal dari kata bahasa Sansekerta yang diserap dari
bahasa Jawa Kuno yaitu "Tuh
Hyang" yang artinya "Kepala Para Dewa". Kata Tuhan tidak dikenal di dalam literatur Yahudi,
Nasrani ataupun Islam. Kata tersebut adanya hanya ada dalam literatur Hindu
atau Budha saja.
"Allah" bukan berasal dari al-ilah dengan
menghilangkan alif seperti penjelasan para dosen Islamologi, sehingga tinggal ”lah” sebab artinya akan berubah, bukan nama tuhannya umat Islam atau
sebutan untuk ”dewa” atau sesembahan lagi, melainkan lisyakshin atau baginya
laki-laki. Ilah itu sudah satu paket kosakata yang tidak bisa dipenggal, karena kata benda bukan kata kerja. Ilah bisa
dimasukkan alif lam karena ilah adalah gelar atau sebutan sedangkan "Allah"
itu tidak bisa karena "nama
pribadi". Contoh : Ustaadzun guru
laki-laki, bisa dimasukkan alif lam, sehingga menjadi al-ustaadzu, tetapi
Fatimah tidak bisa ditulis menjadi al-Fatima karena Fatimah itu nama pribadi
atau nama orang.
Ketika kita memanggil nama "Allah" dengan sebutan "Tuhan"
maka maknanya menjadi bias, Tuhan yang mana yang anda maksud itu? Memang Allah
itu maha mengetahui tentang apa yang ada di hati kita, tetapi apa susahnya jika
kita memanggil langsung dengan sebutan "Allah"? Kenapa kita lebih
senang dengan memanggilnya "Tuhan atau Yang Di Atas"?
Apabila nama saya adalah "Budi" dan saya adalah seorang
"Mahasiswa", kemudian anda memanggil saya dengan nama lain, atau
hanya memanggil "Hai Mahasiswa", maka insya Allah saya tidak akan
menanggapinya.
2. “Agama”
itu tidak ada
Agama berasal dari bahasa sansekerta (bukan bahasa Arab)
yang terdiri dari dua kata A (tidak) dan Gama (kocar-kacir/kacau balau). Jadi secara bahasa, agama artinya tidak kocar-kacir, atau tidak kacau balau.
Jika disatukan dengan kata Islam, memiliki arti tidak kacau balau Islam (Agama Islam), dan ini sangatlah aneh jika kita pahami seperti itu.
Namun keunggulan bahasa Arab dibanding dengan bahasa lain ialah satu kata dapat
memiliki makna/arti yang sangat beragam.
Dien secara lughoh adalah:
1. Ketaatan dan Ketundukan kepada hukum yang mutlak (Qs. 16:52, 40:65, 3:83)
2. Dienul Malik (Aturan/ UUD Kerajaan ) (Qs. 12:76)
3. Tanggungjawab/ Pembalasan (Qs. 1:4)
Sedangkan Dien menurut syara’ adalah:
“Ad Dien adalah apa-apa yang diisyari’atkan Allah SWT dengan taushiyah para
rasul-Nya dan Dia adalah Fitrahnya yang telah menciptakan manusia dengannya
untuk keselamatan mereka di dunia dan di akhirat dengan ridhanya”. Pahami Qs. 42:13, 30:30, 26:21, 49:16,
3:19
Jadi tidak ada istilah “Agama Islam” tetapi yang ada adalah “Dienul Islam” yang
mengatur seluruh sendi kehidupan, bukan "Agama/Ajaran-Ajaran/Isme-Isme" yang hanya mengatur aspek ritualitas saja.
3. Janganlah
kalian “Sembahyang”
Sembahyang berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata “Sembah” yang artinya “Menyembah”, dan “Hyang” yang artinya “Dewa”. Jadi
“Sembahyang” artinya “Menyembah Dewa”. Jadi “Sholat” itu bukan “Sembahyang”.
Terkadang secara sadar atau tidak sadar kita telah merubah sesuatu yang telah
Allah tetapkan.
(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan
sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka
sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah,
amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS. 16:25)
Wallahu’alam........
Kisah Teladan Di Masa Khalifah Umar Bin Khatab (Dahsyatnya "AKIDAH")
“Tetapi Ibu, bukankah kita telah
mengangkatnya sebagai amirul-mukminin, pemimpin orang-orang beriman? Berarti
semua perintah-perintahnya yang sejalan dengan perintah agama harus kita
patuhi, baik ia tahu ataupun tidak tahu. Tanggung jawab kita bukan kepada
Khalifah, melainkan kepada Allah.”
Masih tergiang di telinga Umar bin Khatab jawaban lembut tapi tajam dari seorang gadis kepada ibunya yang menyuruh agar ia mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya. Umar terpesona dengan keluhuran akhlak gadis, anak penjual susu yang dicuri dengarnya semalam.
Saat itu malam gelap gulita. Madinah telah tertidur lelap. Para penduduknya telah dibuai mimpi, kecuali seorang yang masih terjaga. Karena, gelisah diusik rasa tanggung jawab maha dahsyat yang menggantung di lehernya. Dia selalu gelisah seperti itu, sehingga tidak pernah sekejab pun dapat berdiam diri. Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah yang sepi itu. Bertemankan kegelapan malam yang hitam pekat bagai tirai dan angin dingin menyusup tulang.
Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau barangkali ada seseorang kelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan umatnya yang luput dari perhatiannya karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawabannya. Diperhitungkan senti demi senti, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewat dari penglihatan Allah swt.
Orang itu adalah Umar bin Khaththab ra.; amirul mu’minin.
Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga tubuhnya terasa letih, keringatpun mengucur dari sekujur tubuhnya meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot. Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkahnya menuju ke masjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera menyingsing.
Tiba-tiba, disaat duduk bertumpu pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual dipasar pagi hari nanti. Si ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka hari itu. Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“ nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu. “tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu. “tetapi semua orang melakukan hal itu,nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya!” jawab gadis itu. Mendengar ucapan si gadis tadi,berderailah airmata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis karena terharu. Bukan airmata kesedihan, melainkan airmata ketakjuban dan kegembiraan. Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju masjid, lalu shalat fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya. Dipanggillah puteranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.
‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang didengarnya malam tadi kepada puteranya, sehingga ia memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu. Di akhir percakapan itu, Amirul Mukminin lalu berkata kepada puteranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumahtangga, “pergilah temui mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan member berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!” ‘ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan suci hati itu. Mereka berdua dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan ummu ‘Ashim. Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz.
Note :
Dari kisah teladan tersebut ada beberapa hal pokok yang harus digaris bawahi dan menjadi pelajaran untuk umat muslim masa kini. Dan apabila kita berfikir secara kritis, seharusnya timbul pertanyaan : apa "DASAR/AKAR/PONDASI" yang menyebabkan gadis itu sebegitu taatnya kepada Allah? yang diwujudkan taat kepada kepada amirul mu’minin saat itu. Apa yang Umar Bin Khatab tancapkan pada diri umat?
Perlu saya sampaikan kembali bahwa Pokok-pokok din (arkanud din) ada 3 yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
1. Iman yang benar dapat dihasilkan dari aqidah yang benar dan aqidah yang benar dapat dihasilkan dari ilmu yang benar.
2. Islam yang benar dapat dihasilkan dari Ibadah yang benar dan Ibadah yang benar dapat dihasilkan dari ‘amal yang benar.
3. Ihsan yang benar dapat dihasilkan dari Mu’amalah yang benar dan Mu’amalah yang benar berasal dari hasil yang benar.
Inilah urutan mempelajari Islam yang digambarkan/ diumpamakan Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 24-25
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buah pada setiap musim dengan seizing robbnya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat ”. (QS. 14:24-25)
Jadi startnya harus dari urutannya.
Ilmu –> Aqidah –> Iman –> sebagai Akar
Amal –>Ibadah –> Islam –> Sebagai Batang
Hasil –> Mu’amalah –> Ihsan –> Buah
Karena dimulai dari ilmu yang benar maka timbul pemahaman aqidah yang benar sehingga menghasilkan keimanan yang benar, tidak mudah terombang-ambing atau tidak mudah terjual imannya. Ibaratnya seperti akar pohon yang teguh dan kokoh sehingga pohon tersebut tidak mudah tumbang.
Dari keimanan yang benar maka selanjutnya dibuktikan dengan ‘amal yang benar sehingga ibadahnya pun benar dan terlihatlah Islam yang benar. Ibaratnya seperti batang/cabang yang terus tumbuh sampai menjulang ke langit.
Karena dari keislaman yang benar maka akan didapat hasil yang baik. Dalam bermu’amalah dengan siapapun atau dengan alam sekitarnya akan senantiasa baik dan terpelihara dan itulah Ihsan yang benar. Ibaratnya seperti pohon yang selalu menghasilkan buah pada setiap musimnya bahkan menghasilkan buah setiap saat (seperti pohon kelapa).
Fenomena yang ada, orang memulai berdienul Islam dari Ibadah tanpa didasari Aqidah maka tidak akan membuahkan mu’amalah. Kebanyakan di negeri ini orang-orang memulai dari Islam tanpa Iman maka tidak akan timbul Ihsan, atau mulai dari Amal tanpa Ilmu maka tidak ada hasilnya. Hal ini digambarkan oleh oleh Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 26.
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. 14:26)
Maka mari kita mulai berdienul Islam dari urutannya yakni dari pemahaman Aqidah.
Dan pada dasarnya inilah tugas berat yang diamanatkan kepada para pemimpin, yaitu yang mempunyai tanggungjawab besar untuk men-Tauhid-kan umat, Menancapkan Akidah Islam pada diri umat. Dengan menggulirkan program-program yang bertujuan untuk menyelamatkan umat diakhirat kelak, bukan hanya kesejahteraan di dunia. Maka sudah jelaslah pemimpin seperti apa yang harus kita ikuti.
Masih tergiang di telinga Umar bin Khatab jawaban lembut tapi tajam dari seorang gadis kepada ibunya yang menyuruh agar ia mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya. Umar terpesona dengan keluhuran akhlak gadis, anak penjual susu yang dicuri dengarnya semalam.
Saat itu malam gelap gulita. Madinah telah tertidur lelap. Para penduduknya telah dibuai mimpi, kecuali seorang yang masih terjaga. Karena, gelisah diusik rasa tanggung jawab maha dahsyat yang menggantung di lehernya. Dia selalu gelisah seperti itu, sehingga tidak pernah sekejab pun dapat berdiam diri. Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah yang sepi itu. Bertemankan kegelapan malam yang hitam pekat bagai tirai dan angin dingin menyusup tulang.
Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau barangkali ada seseorang kelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan umatnya yang luput dari perhatiannya karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawabannya. Diperhitungkan senti demi senti, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewat dari penglihatan Allah swt.
Orang itu adalah Umar bin Khaththab ra.; amirul mu’minin.
Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga tubuhnya terasa letih, keringatpun mengucur dari sekujur tubuhnya meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot. Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkahnya menuju ke masjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera menyingsing.
Tiba-tiba, disaat duduk bertumpu pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual dipasar pagi hari nanti. Si ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka hari itu. Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“ nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu. “tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu. “tetapi semua orang melakukan hal itu,nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya!” jawab gadis itu. Mendengar ucapan si gadis tadi,berderailah airmata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis karena terharu. Bukan airmata kesedihan, melainkan airmata ketakjuban dan kegembiraan. Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju masjid, lalu shalat fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya. Dipanggillah puteranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.
‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang didengarnya malam tadi kepada puteranya, sehingga ia memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu. Di akhir percakapan itu, Amirul Mukminin lalu berkata kepada puteranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumahtangga, “pergilah temui mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan member berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!” ‘ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan suci hati itu. Mereka berdua dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan ummu ‘Ashim. Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz.
Note :
Dari kisah teladan tersebut ada beberapa hal pokok yang harus digaris bawahi dan menjadi pelajaran untuk umat muslim masa kini. Dan apabila kita berfikir secara kritis, seharusnya timbul pertanyaan : apa "DASAR/AKAR/PONDASI" yang menyebabkan gadis itu sebegitu taatnya kepada Allah? yang diwujudkan taat kepada kepada amirul mu’minin saat itu. Apa yang Umar Bin Khatab tancapkan pada diri umat?
Perlu saya sampaikan kembali bahwa Pokok-pokok din (arkanud din) ada 3 yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
1. Iman yang benar dapat dihasilkan dari aqidah yang benar dan aqidah yang benar dapat dihasilkan dari ilmu yang benar.
2. Islam yang benar dapat dihasilkan dari Ibadah yang benar dan Ibadah yang benar dapat dihasilkan dari ‘amal yang benar.
3. Ihsan yang benar dapat dihasilkan dari Mu’amalah yang benar dan Mu’amalah yang benar berasal dari hasil yang benar.
Inilah urutan mempelajari Islam yang digambarkan/ diumpamakan Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 24-25
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buah pada setiap musim dengan seizing robbnya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat ”. (QS. 14:24-25)
Jadi startnya harus dari urutannya.
Ilmu –> Aqidah –> Iman –> sebagai Akar
Amal –>Ibadah –> Islam –> Sebagai Batang
Hasil –> Mu’amalah –> Ihsan –> Buah
Karena dimulai dari ilmu yang benar maka timbul pemahaman aqidah yang benar sehingga menghasilkan keimanan yang benar, tidak mudah terombang-ambing atau tidak mudah terjual imannya. Ibaratnya seperti akar pohon yang teguh dan kokoh sehingga pohon tersebut tidak mudah tumbang.
Dari keimanan yang benar maka selanjutnya dibuktikan dengan ‘amal yang benar sehingga ibadahnya pun benar dan terlihatlah Islam yang benar. Ibaratnya seperti batang/cabang yang terus tumbuh sampai menjulang ke langit.
Karena dari keislaman yang benar maka akan didapat hasil yang baik. Dalam bermu’amalah dengan siapapun atau dengan alam sekitarnya akan senantiasa baik dan terpelihara dan itulah Ihsan yang benar. Ibaratnya seperti pohon yang selalu menghasilkan buah pada setiap musimnya bahkan menghasilkan buah setiap saat (seperti pohon kelapa).
Fenomena yang ada, orang memulai berdienul Islam dari Ibadah tanpa didasari Aqidah maka tidak akan membuahkan mu’amalah. Kebanyakan di negeri ini orang-orang memulai dari Islam tanpa Iman maka tidak akan timbul Ihsan, atau mulai dari Amal tanpa Ilmu maka tidak ada hasilnya. Hal ini digambarkan oleh oleh Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 26.
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. 14:26)
Maka mari kita mulai berdienul Islam dari urutannya yakni dari pemahaman Aqidah.
Dan pada dasarnya inilah tugas berat yang diamanatkan kepada para pemimpin, yaitu yang mempunyai tanggungjawab besar untuk men-Tauhid-kan umat, Menancapkan Akidah Islam pada diri umat. Dengan menggulirkan program-program yang bertujuan untuk menyelamatkan umat diakhirat kelak, bukan hanya kesejahteraan di dunia. Maka sudah jelaslah pemimpin seperti apa yang harus kita ikuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar